Batik Pekalongan, Sejarah Perkembangan & Ciri Khas Motif Batik
Batik Pekalongan. Berada di jalan Pantura penghubung Jakarta, Semarang dan Surabaya, Pekalongan adalah salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Sebuah kota menakjubkan dalam balutan nuansa yang religius. Hadir dengan citarasa budaya nan khas, termasuk adat tradisi dan kulinernya.
Namun di antara kekhasan tersebut, Pekalongan lebih mentereng dalam dunia perbatikan. Di mata dan telinga pecinta budaya, tidak ada yang lebih menggambarkan kota ini melebihi batiknya. Lambang kotanya didominasi "Batik", motonya "Pekalongan Kota BATIK", slogan pariwisatanya "World City of Batik".
Jadi, julukan "Kota Batik" tak hanya Yogyakarta dan Solo saja, Pekalongan juga. Sejak akhir 2014, kota ini telah masuk dalam jaringan kota kreatif UNESCO. Dalam kategori crafts & folk art dan mengantongi city branding World's city of Batik. Ingin lebih tahu mengenai Pekalongan? mari lebih dalam mengenal perbatikannya.
Sekilas Sejarah Batik di Pekalongan
Batik di daerah Pekalongan telah ada sejak tahun 1800-an. Meski demikian, wastra tradisional ini baru berkembang signifikan setelah Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir. Akibat perang yang berjuluk Perang Jawa tersebut, keluarga keraton Mataram beserta pengikutnya terdesak dan meninggalkan kerajaan.
Mereka menyebar, menempati daerah-daerah baru sambil mengembangkan kerajinan batik. Di Timur, Batik Solo dan Batik Yogyakarta memperkaya corak batik di area Mojokerto, Tulungagung, Gresik, Surabaya dan Madura. Di arah Barat, batik berkembang baik di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan.
Migrasi keluarga keraton itulah yang menjadikan Batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang. Perkembangannya sangatlah pesat pada kisaran 1950-1970. Mencapai puncak kejayaan sekitar tahun 1952-1964, yang mana kerajinan batik mampu memberikan kemakmuran masyarakat Pekalongan.
Perkembangan sangat baik bermula dari pesisir, di Pekalongan Kota, Buaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Batik khas keraton berpadu dengan budaya masyarakat pesisir yang terbuka, bebas dan sangat marjinal. Masuknya budaya Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang turut menghiasi dinamika perbatikannya.
Sebagai kota pesisir yang mudah menerima budaya luar, Pekalongan perlahan tapi pasti menjadi sentra perkembangan batik Nusantara. Batik tumbuh menjadi industri yang lebih berorientasi komersil ketimbang seni atau kriya. Menjadi nafas hidup keseharian masyarakat sebagai "soko guru" ekonomi di Pekalongan.
Meski demikian, perkembangan batik di Pekalongan juga mengalami pasang surut. Menurun ketika Perang Dunia I, kembali hidup tahun 1920-an dan merosot lagi pada masa malaise 1930. Dan, meningkat lagi seiring kebutuhan sandang daerah-daerah pendudukan Belanda setelah agresi militer Belanda ke-II 1949.
Masa itulah yang kemudian menjadi cikal bakal bangkitnya industri batik di kota Pekalongan. Selanjutnya, rentang tahun 1952-1964 bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan batik khas Pekalongan. Dalam kurun waktu tersebut industri perbatikan mampu memberi kesejahteraan bagi masyarakat Pekalongan secara luas.
Meski belum sepenuhnya berdampak, kehadiran teknik printing (sablon) tahun 1960 mengisyaratkan kemunduran bagi industri batik. Lambat laun muncullah pabrik tekstil milik Cina dan Asing dengan teknik tersebut. Batik tradisional pun hancur, banyak pengusaha pribumi yang gulung tikar pada puncaknya tahun 1970.
Begitulah masyarakat Pekalongan berusaha keras menghidupi batik. Sebagai produk unggulan yang dicintai dan dibanggakan, masyarakat tetap menjaganya meski berbagai krisis menghantam. Sejak Desember 2014, UNESCO memasukkan Pekalongan dalam jaringan kota kreatif dan memiliki city branding World's city of Batik.
Ciri Khas dan Keunikan Motif Batik
Secara geografis, batik di daerah Pekalongan masuk dalam kategori batik pesisir. Batik pesisir secara singkat merupakan batik yang tidak lagi berpegang pada pakem seperti yang mengikat batik pedalaman atau batik keraton. Namun, semua jenis batik di Indonesia bermuara atau berasal dari dalam tembok keraton.
Motif batiknya sekilas mirip Batik Solo dan Batik Jogja. Sebagai pembeda, batik daerah Pekalongan lebih bebas dan dinamis untuk dimodifikasi. Variasi warnanya sangat kaya dan terkadang sangat kontras jika kita bandingkan dengan corak batik pedalaman, baik batik gaya Surakarta (solo) maupun gaya Yogyakarta.
Selain itu, perbatikan di Pekalongan juga mendapat pengaruh dari Cirebon. Hal ini terkait dengan masa Kesultanan Cirebon yang selanjutnya mencipta hubungan kultural-lokal. Dalam hal ini, kerajinan batiknya mengandung ragam hias keramik Cina yang ada di Keraton Kasepuhan dan makam Raja-raja Cirebon di Gunungjati.
Nuansa Batik Pekalongan juga mendapat pengaruh budaya luar, khususnya Cina dan Belanda. Batik Jlamprang termasuk motif batik paling populer, bahkan kini menjadi nama jalan di Pekalongan. Namun, merujuk ragam hias dan warnanya, batik daerah Pekalongan bisa terkategorikan menjadi 3, di antaranya sebagai berikut:
Batik Encim Khas Cina
Batik yang lebih condong menampilkan tata warna Cina. Ada ragam hias buketan yang menyajikan tata warna famili rose, famili verte dll. Dan, ragam hias simbolis kebudayaan Cina yang menampilkan motif seperti burung hong (kebahagiaan), naga (kesiagaan), banji (kehidupan abadi), kilin (kekuasaan) dan sebagainya.
Ada juga ragam hias bercorak lukisan, seperti arakan pengantin Cina dan corak yang terilhami oleh dongeng seperti yang terlihat pada batik Sam Pek Eng Tay. Selain itu, batik Encim juga mendapat pengaruh batik Solo-Jogja seperti batik Cempaka Mulya. Menariknya lagi, ada ragam hias tanahan yang bernama Semarangan.
Batik Bergaya Belanda
Motif batik yang mewakili citarasa Belanda, batik Van Zuylen adalah yang paling populer. Batik bergaya Belanda umumnya berupa kain sarung, karena mungkin kaum pendatang lebih mudah mengenakannya. Ragam hias buketan khas Belanda banyak menampilkan flora krisan, anggur dan rangkaian bunga Eropa.
Terdapat juga ragam hias bridge yakni merupakan permainan kartu kalangan pendatang barat. Serta, ragam hias berupa lambang bagi masyarakat Eropa seperti cupido (cinta), tapak kuda dan klavderblad (keberuntungan). Juga, ragam hias yang berasal dari cerita atau dongeng putri salju, cinderella dan lain-lain.
Batik Bergaya Pribumi
Batik yang mewakili selera bumi putera atau pribumi. Biasanya kerajinan batik gaya pribumi menampilkan tata warna yang sangat cerah dan cenderung meriah. Bahkan, ada sehelai Kain Batik yang memadukan hingga 8 warna dengan sangat berani, namun tetap terlihat menakjubkan dan secara keseluruhan menarik.
Meski banyak menampilkan ragam hias tradisi Solo-Yogya, namun ragam hias batiknya lebih bebas dan dinamis. Merak kesimpir, tambal, jlamprang termasuk batik gaya pribumi yang terlihat mirip dengan gaya Solo-Yogya. Selebihnya, ada juga ragam hias terang bulan dan batik dengan ragam hias tenunan palekat.
Selain melalui ragam hias dan tata warna yang telah tersebut di atas, batik di Pekalongan juga khas dalam hal teknik pewarnaannya. Tidak memakai teknik celup tapi memakai teknik melukis. Teknik dengan melukis ini digunakan karena mempermudah mencapai warna yang dikehendaki pada saat yang bersamaan.
REFERENSI: