Tari Bondan Jawa Tengah - 3 Jenis Tarian, Sejarah dan Legenda

Tari Bondan merupakan tarian tradisional Jawa Tengah yang menggambarkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Seperti Tari Gambyong, Bondan merupakan tarian yang berasal dari rakyat. Berkat nilai yang melatarbelakanginya, tari ini dulunya menjadi tarian wajib bagi para kembang desa.

Sejarah dan Legenda Tari Bondan

Ketika merujuk pada legenda yang berkembang di lereng barat Gunung Merapi (Kec. Dukun, Salam, Sawangan), tari ini tercipta untuk mengingat Nyai Bondan Kejawan. Masyarakat menyakini bahwa Nyai Bondan adalah pengasuh Dewi Sri yang merupakan ibu kesuburan dalam mitologi Jawa.

Bayi dalam gendongan penari Bondan melambangkan Dewi Sri. Dalam mitos yang berkembang di masyarakat, bayi Dewi Sri tersebut tercipta dari telur yang ada di dalam mulut naga Antaboga. Bayi Dewi Sri kemudian dititipkan kepada keluarga petani, yakni Kyai dan Nyai Bondan Kejawan.

Kisah selanjutnya, Bathara Kala berusaha memakan padi yang tumbuh dari pusara Dewi Sri. Kyai Bondan menjelma menjadi rumput kejawan yang tumbuh di sela padi. Ia mengorbankan diri agar Kala memangsanya terlebih dahulu demi menyelamatkan bulir-bulir padi penjelmaan Dewi Sri.

Jika mengaitkannya dengan legenda di atas, Tari Bondan termasuk salah satu jenis tarian mistik dalam kosmologi masyarakat Jawa. Legenda tentang Kyai dan Nyai Bondan Kejawan yang mengasuh Dewi Sri tersebar dari mulut ke mulut dan terus dituturkan pada sesepuh desa di kawasan tersebut.

Jenis Tarian Bondan Jawa Tengah

Tarian Bondan sangat unik, khususnya terlihat dari jenisnya. Masing masing jenis mewakili keadaan, perasaan, perjuangan serta tingkah laku seorang ibu. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga jenis tarian, yakni Bondan Cidongo, Bondan Mardisiwi dan Bondan Pegunungan (Tani).

Tari Bondan Cindogo menggambarkan kasih sayang seorang ibu pada putra tercinta yang baru saja lahir. Meskipun pada awalnya memperlihatkan keadaan suka cita, namun pada akhirnya lebih menonjolkan perasaan sedih karena anak satu-satunya tersebut meninggal dunia.

Lain halnya dengan Bondan Mardisiwi yang lebih merupakan tari gembira. Jenis ini juga menggambarkan suka cita seorang ibu atas kelahiran putranya, tapi tidak berakhir dengan kematian. Bondan Mardisiwi tidak menggunakan properti kendi seperti dalam Bondan Cindogo.

Tarian Bondan Cindogo dan Bondan Mardisiwi sama-sama melibatkan penari yang umumnya remaja putri yang menggunakan kain wiron, jamang dan baju kotang. Mereka menari sambil menggendong boneka bayi. Selain itu, mereka juga memanggul sebuah payung di pundak.

Bondan Cindogo juga ditarikan di atas kendi. Para penari menari dengan cara memutar kendi sambil menjaga keseimbangan agar kendi tidak pecah. Selain dua tari di atas, ada juga tarian Bondan Pegunungan/Tani yang menggambarkan tingkah perempuan desa di pegunungan.

Awalnya, Tarian Bondan Tani menunjukkan gerakan perempuan desa dalam menggarap ladang atau sedang bertani. Dalam menarikan tarian ini, mereka menggunakan properti berupa perlengkapan bertani, seperti caping (topi petani) serta alat-alat pertanian yang lainnya.

Busana yang mereka pakai juga baju yang umumnya perempuan desa ketika bertani. Salah satu keunikan Tarian Bondan Pegunungan adalah ketika selesai menari menggunakan peralatan tani, penari kemudian melepas baju satu persatu dengan membelakangi penonton.

Usai baju bertaninya lepas, di dalam baju itu, si penari telah memakai busana umumnya Tari Bondan. Gerak tari selanjutnya sama dengan Bondan lainnya. Awalnya, hanya tembang dolanan yang mengiringi tarian ini, kemudian berkembang iringan musik gending yang lengkap.

REFERENSI:
  1. academia.edu/11192372/tar...
  2. bpad.jogjaprov.go.id/coe/ja...
  3. id.wikipedia.org/wiki/Tari_b...
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url