Beksan Wireng Mangkunegaran - Pengertian, Sejarah & Penyajian
Beksan Wireng atau Tari Wireng merupakan salah satu jenis tarian tua dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Sebuah tarian tradisional yang mencoba memberi penggambaran tentang "wira" yang berarti perwira dan "aeng" yang berarti prajurit yang unggul.
Oleh karena itu, Tari Wireng termasuk jenis tari yang bertemakan perang sebagai usaha agar prajurit istana tangkas dalam olah keprajuritan atau latihan perang. Biasanya tari ini melibatkan dua orang penari dengan menggunakan kostum seperti seorang prajurit.
Beksan Wireng juga tergolong kesenian adiluhung yang bersumber dari keraton-keraton Jawa. Dalam hal ini, Kasunanan Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, serta Pura Mangkunegaran yang hingga sekarang senantiasa melestarikannya.
Ketika merujuk pada Serat Centhini, tarian Wireng telah ada sejak zaman Jenggala-Kediri abad ke-11. Di masa itu telah ada beberapa jenis Tari Wireng, baik yang memakai senjata maupun tanpa senjata. Secara garis besar, Tari Wireng adalah tari peperangan yang khas.
Salah satu cirinya adalah perang tanding dua orang, tanpa ada kalah menang. Tari ini berlangsung tanpa ontowacono (dialog), bentuk tari dan pakaiannya sama. Tersaji dengan iringan gending satu dan dua, dari gendhing ladrang untuk kemudian gendhing ketawang.
Perihal Istilah "Beksan Wireng"
Istilah Wireng berasal dari gabungan dua kata yakni "Wira" atau perwira dan "Aeng" yakni prajurit unggulan. Menurut P.M Rono Suripto, kata Wireng juga berasal dari kata "wira" yang artinya perwira/prajurit dan akhiran "ing" berfungsi sebagai penyangkat (Kamajaya, 1986: 193-194).
Pengertian di atas sejalan dengan apa yang tersebut di dalam Kamus Jawa Kuno karya dari P.J Zoetmulder. Dalam kamus tersebut tertulis bahwa kata "wira" berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya: orang pemberani, pahlawan, atau prajurit yang berani (Kamajaya, 1981: 41).
Sementara itu, istilah Beksan berasal dari kata baksa, babaksan, ababaksan yang berarti menari (Pakempalan Yogyataya 1923: 28). Dalam hal ini, Beksan Wireng bisa kita maknai sebagai tarian yang mengusung tema tentang olah kaprajuritan, perang dan kepahlawanan.
Terkait dengan fungsinya, Tari Wireng berfungsi sebagai gladen atau berlatih perang para putra raja maupun prajurit. Apabila menggunakan properti senjata atau alat perang, penyajian tari ini bisa menggunakan pedang, tameng, keris, lawung, dhadhap, tombak, godo, dan panah.
Bentuk Penyajian Beksan Wireng
Berkat pengaruh besar dari jiwa kepahlawanan dan semangat perang pendiri Praja Mangkunegaran dengan ikrar Tiji Tibeh dan ajaran Tri Darma, Tari Wireng menjadi beragam. Terutama di Mangkunegaran, sebagian besar periode pemerintahan turut menciptakan variasi tarinya sendiri.
Meski demikian, melihat struktur penyajian, tari ini selalu tersaji dengan pola yang hampir sama. Bermula dari gawang kawit atau yang biasa disebut maju beksan. Selanjutnya diteruskan di gawang baku yang disebut beksan, diakhiri mundur beksan dan kembali lagi ke gawang kawit.
Adegan perangan umumnya terbagi dua, yakni perang gendhing yang terikat aturan gending. Dan, perang ruket (bergumul) yaitu perang campuh tanpa terputus, saling pukul, serang dan bertahan. perang ruket tak banyak memakai sekaran atau variasi tapi masih mengikat dalam susunan tari.
Mengenai penokohan, Tari Wireng tokoh pewayangan. Ada yang berasal dari Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Klithik, Wayang Gedog, Wayang Rama, Wayang Ayudya, dan Wayang Menak. Dalam hal tata busana, tari ini mengacu pada busana yang digunakan di dalam Wayang Wong.
Sejarah dan Perkembangan Tari
Dalam sejarahnya, ketika merujuk pada Serat Centhini yang mulai tersusun pada tahun 1814, Beksan Wireng telah ada sejak abad ke-11 atau pada zaman Jenggala-Kediri. Namun dalam artikel ini, hanya akan membahas perihal sejarah Beksan Wireng Mangkunegaran.
Informasi mengenai keberadaan Tari Wireng bisa kita dapati di dalam berbagai jenis serat, termasuk Serat Centhini, Serta Sastramiruda, Serta Weddataya, serta Serat Kridhwayangga. Lihat informasi lengkapnya melalui tautan referensi yang ada di bawah artikel ini.
Di Mangkunegaran, terciptanya Tari Wireng sangat berkaitan dengan sejarah berdirinya kadipaten. Sejarah tentang perjuangan R.M Said beserta pengikutnya, termasuk 18 orang pendukung setianya yang tangguh dan berani sebagai pemimpin inti pasukannya.
Selama 16 tahun, R.M Said dan pengikutnya melawan penjajah dalam perang Suksesi Tanah Jawa (1741-1757). Mereka semangat dalam berjuang karena ikrar yang berbunyi "Tiji Tibeh" yang berarti mati siji mati kabeh atau mukti siji mukti kabeh (Sastrakarta, 1925: 6).
Selanjutnya, muncul ajaran Tri Darma setelah penobatan R.M Said atau Pangeran Sambernyawa sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I. Ajaran Tri Darma berbunyi Mulat sarira hangrasa wani, Rumangsa melu handarbeni, dan Wajib melu banggondeli.
Tiga kelompok kata dalam Tri Darma memiliki kesatuan makna. Inti kesatuan makna tersebut adalah menjunjung tinggi kebenaran dan kesadaran bahwa praja merupakan hasil dari perjuangan bersama, serta adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankannya.
Semangat Tiji Tibeh dan Tri Darma berpengaruh kuat dalam tata hidup dan perilaku rakyat Trah Mangkunegaran, termasuk dalam hal budaya. Pada masa Mangunagara IV, bidang sastra sangat menonjol dengan lahirnya Serat Tripama, Serat Wedatama dan Wawacan Panyi Wulung.
Dalam bidang tari, sebagian besar berbentuk Tari Wireng, berawal dari lahirnya Tari Wireng Janaka - Cakil pada masa K.G.P.A.A Mangkunagara I. Di masa berikutnya, Mangkunagara II memilih melanjutkan perang melebarkan kekuasaan sehingga tidak ada waktu untuk berkesenian.
Varian dari tarian Wireng baru muncul kembali pada masa pemerintahan Mangkunegara III. Pada saat itu tercipta Tari Wireng Harjuna Mangsah dan Wireng Putri Lenggotbawa. Selanjutnya, Beksan Wireng mulai banyak tercipta lagi pada masa pemerintahan Mangkunagara IV.
Beberapa Tari Wireng saat itu, di antaranya Panji Anom (Dadap Kaneman), Sinibondo, Klono Topeng, Gunungsari Topeng, Lawung, Bondoboyo, Bondowolo, Bondoyudo, Tameng Subolo dan Wireng Panji Bugis - Handoko Bugis. Lalu, masa Mangkunagara V menjadi masa keemasan tarian ini.
Pada masa Mangkunagara V, semakin banyak tercipta varian Beksan Wireng Mangkunegaran. Beberapa di antaranya adalah Tayungan Wireng, Harjunasasra - Sumantri, Kelatapura - Begawan Ciptaning, Wirun - R. Rg. Narantaka, Klana Jayengsari - Klana Saiyapati.
Tidak hanya itu, varian lain mencakup Pagunadi - Janaka dan Wireng Karna - Janaka, Wireng Lawune, Bandabaya, Bandawaka (Handaga-Dirgantara), Bandawala (Kalang - Macanwulung), Tameng Subala, Wireng Bugis, Sancaya - Kusumawicitra dan Wireng Kethek.
Pada masa Mangkunagara VI terjadi krisis meski bidang kesenian semakin subur terutama tari dan pementasan Wayang Wong. Beksan Wireng tercipta lai pada era Mangkunagara VII, seperti Mandrasmara, Mandrakusuma (Srikandi-Larasati), dan Mandra Retna (Srikandi-Mustakaweni).
Kemudian pada masa Mangkunagara VIII, lahir juga beberapa Tari Wireng dengan pemadatan gerak selain juga mengurangi gerakan berulang. Beberapa contoh tarian di antaranya Wireng Priyambada-Mustakaweni, Minakjingga-Damarwulan, Menak Koncar, dan Mandrasari.
REFERENSI: