Wayang Golek Jawa Barat - Pengertian & Sejarah Wayang Sunda

Wayang Golek merupakan salah satu jenis dari kesenian wayang di Indonesia. Disebut Wayang Golek karena bentuknya tidak seperti Wayang Kulit, melainkan seperti golek (boneka) yang terbuat dari kayu yang diraut, diukir, digambar dan diwarnai hingga tercipta bentuk yang diinginkan.

Seiring dengan perkembangannya, kesenian wayang khas Jawa Barat ini terbagi menjadi tiga jenis wayang. Jenis yang pertama adalah kesenian Wayang Golek Papak yang berkembang di daerah Cirebon dengan membawakan ceritera babad dan legenda menggunakan bahasa Cirebon.

Kedua, kesenian Wayang Golek Purwa yang khusus membawakan lakon Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda. Sementara itu yang ketiga, yakni Wayang Golek Modern hadir dengan cerita yang sama dengan Wayang Purwa namun tampil dengan trik-trik menggunakan listrik.

Sekilas Sejarah Wayang Golek

Kesenian wayang Jawa Barat ini memiliki asal asul yang tidak bisa kita ketahui secara jelas karena kurangnya keterangan, baik secara tertulis maupun lisan. Namun, ada keyakinan bahwa keberadaan kesenian ini merupakan bagian dari perkembangan Wayang Kulit di Jawa.

Merujuk pada Salmun (1986), pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang bisa tampil siang hari. Ismunandar (1988) juga menyebutkan pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'Wayang Purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak dan iringan gamelan Salendro.

Pertunjukkannya kesenian wayang tersebut adalah di siang hari. Wayang ini juga tidak memerlukan kelir seperti biasa terlihat dalam pertunjukan Wayang Kulit, sementara bentuk wayangnya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya Wayang Kulit).

Jenis yang pertama kali adalah Wayang Golek Menak dengan lakon cerita panji. Wayang jenis ini berkembang sejak masa Panembahan Ratu, cicit dari Sunan Gunung Jati (1540-1650). Di Cirebon lebih terkenal sebagai Wayang Golek Papak dengan ciri khas bentuk kepalanya datar.

Dalam perkembangan selanjutnya yakni pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662), wayang tersebut membawakan lakon cerita babad, sejarah tanah Jawa, termasuk sejarah penyebaran Islam. Selanjutnya, wayang golek lakon Ramayana dan Mahabarata (purwa) lahir pada 1840 (Somantri, 1988).

Kelahiran kesenian wayang tersebut diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu, Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu.

Bentuk wayang semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang baru dengan bentuk yang membulat atau tidak jauh berbeda dengan bentuk Wayang Golek yang sekarang.

Di Priangan, masyarakat Sunda mengenal Wayang Golek sekitar awal abad ke-19. Atau, sejak jalan raya Daendels terbuka menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Awalnya memakai bahasa Jawa, bahasa Sunda dipakai setelah orang Sunda pandai mendalang.

Rumusan Kode Etik Pendalangan

Kesenian ini lahir sebagai kesenian yang kaya dengan nilai budaya. Tidak hanya nilai estetika semata, bahkan mencakup keseluruhan nilai dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu tersosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan.

Kode etik pedalangan tersebut bernama "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan ini merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Berikut rincian kode etiknya:

  • Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
  • Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya wajib memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku.
  • Juru penerang. Karena itu wajib menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat.
  • Sosial Indonesia. Sebab itu wajib mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah.
  • Susilawan. Wajib menjaga etika di lingkungan masyarakat.
  • Mempunyai kepribadian sendiri, maka harus menjaga kepribadian sendiri dan bangsa.
  • Setiawan. Maka mesti tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
REFERENSI:
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url