Pakaian Adat Yogyakarta, Kelengkapan dan Jenis Busana Jogja

Pakaian Adat Yogyakarta. Sebagai daerah istimewa yang juga merupakan pusat kebudayaan Jawa, tentunya Yogyakarta juga mempunyai busana tradisional yang istimewa. Busana khas Mataram, karena Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang mewarisi busana Kerajaan Mataram. Termasuk dalam hal ini Batik Yogyakarta

Sejarah mencatat, pada tahun 1755 telah terjadi peristiwa politik yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua. Peristiwa yang terkenal dengan sebutan Perjanjian Giyanti tersebut melahirkan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Singkat cerita seluruh harta, termasuk warisan budaya Mataram juga terbagi menjadi dua.

Terkhusus untuk kelengkapan busana Keraton Mataram, seutuhnya menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Adapun Kasunanan Surakarta lebih banyak mendesain busananya sendiri. Busana Surakarta yang mewakili Pakaian Adat Jawa Tengah telah terpublikasi sebelumnya. Untuk kali ini mari kita mengenal Pakaian Adat Yogyakarta.

Surjan, Kebaya dan Blangkon Jogja

Busana Surjan

Surjan merupakan salah satu model busana yang paling mencitrakan pakaian adat Jawa, khususnya Yogyakarta dan Jawa Tengah. Meski umumnya yang memakai adalah laki-laki, tidak sedikit juga wanita yang mengenakannya dalam bentuk kebaya. Surjan biasanya padu padan dengan kain jarik dan blangkon (penutup kepala).

Surjan adalah busana atas pria yang sebenarnya merupakan kelengkapan pakaian adat Yogyakarta. Adapun dalam busana adat Surakarta (Solo) pria memakai beskap, yakni baju atasan yang mendapat pengaruh budaya Eropa. Terkait motifnya ada beberapa jenis Surjan, yakni Surjan Lurik, Surjan Ontokusumo dan Surjan Jaguar.

Lurik merupakan motif awal dan paling populer. Yang memakai motif ini pertama kali adalah Sunan Kalijogo sebagai busana Takwa. Lurik atau Lorek berarti garis-garis kecil yang melambangkan kesederhanaan pria Jawa. Dalam lingkup keraton, garis-garis tersebut juga melambangkan jabatan yang ditentukan besar kecil luriknya.

Selanjutnya, ada Surjan Ontokusumo yang terbuat dari kain sutra dengan ciri khas bermotif hiasan bunga-bunga. Jenis ini mewakili busana para pejabat dan kalangan bangsawan di Keraton Yogyakarta. Ada juga motif Jaguar yang juga bermotif bunga namun tidak tegas. Warnanya tidak terlalu mencolok seperti Surjan Ontokusumo.

Kebaya Jogja

Kebaya merupakan kelengkapan busana wanita yang sudah tersebar di beberapa daerah dan telah menjadi busana nasional Indonesia. Setiap daerah memiliki Kebaya yang unik, tidak terkecuali Yogyakarta. Meski banyak yang menganggap Kebaya Jogja dan Kebaya Solo sama, pada kenyataannya ada perbedaan di antara keduanya.

Dalam penggunaannya, Kebaya Jogja tertutup seal atau mengunci. Adapun Kebaya Solo tidaklah mengerucut ketika kancingnya tertutup ke depan. Perbedaan lain termasuk hiasan pita emas di Kebaya Jogja yang mengelilingi lengan, leher serta di depan dada hingga bagian bawah badan. Kebaya Solo tidak ada hiasan seperti itu.

Blangkon Jogja

Karena sama-sama merupakan pecahan Kerajaan Mataram, budaya Yogya dan budaya Surakarta selalu menjadi pembanding satu sama lain. Salah satu kelengkapan pakaian adat Yogyakarta adalah blangkon. Ini adalah penutup kepala unik yang juga bisa kita dapati di Surakarta atau dalam budaya masyarakat Jawa pada umumnya.

Perjanjian Giyanti di masa lalu telah menimbulkan banyak perbedaan antara Yogya dan Solo (Surakarta). Hal ini tidak terkecuali pada bentuk blangkon. Ciri paling menonjol dari Blangkon Jogja adalah adanya "mondholan" yang bentuknya mirip telur di belakang blangkon. Dan, "mondholan" tidak ada pada blangkon gaya Surakarta.

Pakaian Upacara Adat Yogyakarta

Masyarakat adat sangatlah kental dengan sesuatu yang bersifat sakral. Oleh karena itu, berbagai macam upacara adat pun mewarnai kehidupan mereka. Di Yogyakarta sendiri terdapat berbagai macam ritual yang erat kaitannya dengan daur hidup. Sebagai misal adalah upacara tedhak siti, tetesan, supitan dan upacara perkawinan.

Masing-masing upacara ritual tersebut terselenggara dengan tujuan tersendiri. Oleh karena itu, pakaian adat yang menyertainya pun sangat beragam. Berikut ini merupakan penjelasan singkat perihal pakaian adat Yogyakarta yang berfungsi untuk menghadiri upacara adat. Tidak mencakup semuanya, hanya beberapa di antaranya.

Pakaian Tedhak Siti

Upacara Thedak Siti terselenggara ketika pertama kali seorang anak belajar menginjakkan kaki ke tanah yang umumnya hanya melibatkan kaum perempuan. Mereka mengenakan busana bawahan berupa kain batik berlatar putih. Bagian atasnya adalah baju kebaya pendek, dalamnya "semekan" batik. Gelungnya gelung tekuk.

Pakaian Tetesan

Ini adalah upacara untuk memperingati seorang anak wanita ketika ia menuju dewasa (5-10 tahun). Anak yang ditetesi biasanya mengenakan busana kebaya tanpa baju, kain cindhe, ikat pinggang dengan slepe model sabukwala. Perhiasannya mencakup kalung susun dan gelang kana berbahan emas. Tidak memakai alas kaki.

Anak-anak putri yang menghadiri upacara tetesan memakai kain batik, kain cindhe atau prada, dengan lontong bordiran benang emas dan cathok (gesper) dari emas. Perhiasan mereka meliputi subang kalung susun, gelang kana dan slepe. Sanggul kondhe ceplok beros dengan cundhuk mentul, sisir dan lancur atau bulu unggas.

Pakaian Pinjung

Pinjung merupakan ritual upacara ketika haid pertama remaja putri (11-14 tahun). Pakaiannya terdiri dari kain cindhe, lontong dan kamus bordiran, cathok emas dan udhet cindhe. Perhiasannya berupa subang, kalung susun tiga, gelang kana, slepe emas, cundhuk petat, ceplok bros, peniti renteng, bros kecil. Tanpa alas kaki.

Sebenarnya, ini merupakan pakaian adat Yogyakarta untuk remaja putri sehari-hari di lingkungan keraton. Pada dasarnya pakaian Pinjung hanya terdiri satu bagian saja. Baik atasan maupun bawahannya menggunakan kain batik dengan penutup depan berbentuk segitiga. Gelungnya gelung tekuk dan tanpa memakai alas kaki.

Pakaian Supitan

Supitan adalah upacara khitanan untuk anak laki-laki. Pengantin khitan memakai busana yang terdiri atas kain cindhe untuk bagian bawah dan rasukan bedhaya gombyok untuk bagian atas. Juga, penutup kepala berbentuk surban yang bernama "puthut". Pakaian ini adalah pakaian upacara Supitan di kalangan rakyat biasa.

Pakaian Supitan untuk keluarga keraton sangat jauh berbeda. Pakaiannya menggunakan kuluk kanigaran berwarna hitam. Busana tersebut berkombinasi dengan baju beskap yang berhias kalung karset berbahan emas. Aksesorisnya termasuk keris branggah mataraman, kain batik nitik parang gapit dan selop sebagai alas kaki.

Pakaian Pengantin

Pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan untuk upacara perkawinan juga sangat banyak macamnya. Tidak hanya untuk pakaian pengantin, yang menghadiri atau terlibat di dalam acara tersebut pun pakaiannya berbeda-beda. Namun demikian, daftar ini hanya mencakup pakaian tradisional adat bagi kedua pengantinnya saja.

Kesatrian

Awalnya, Kesatrian merupakan pakaian putra-putri sultan ketika mereka menghadiri perjamuan ramah tamah dengan para tamu ataupun kerabat. Dalam perkembangannya, pakaian ini digunakan di dalam upacara midodareni (upacara malam menjelang hari pernikahan) maupun upacara panggih (pertemuan kedua mempelai).

Pengantin pria dan wanita sama-sama mengenakan batik sidoasih, sidoluhur, sidomukti, parangkusuma, semen rama, truntum, atau udan riris. Pria juga memakai lontong, kamus dan timang kreteb, keris, surjan sutera bermotif bunga kembang batu atau polos. Juga, blangkon dengan sintingan atau dua buah sayap di bagian muka.

Sedangkan mempelai wanita memakai kebaya pendek sutra yang warnanya senada dengan surjan pria. Serta, baju tanpa kutu baru dan bros bunga mekar 3 buah. Perhiasan bagi wanita; giwang, kalung, gelang dan cincin. Perhiasan pria; karset, bros, rantai, reroncen bunga melati, dan kolang keris. Keduanya memakai selop polos.

Dalam jenisnya, busana Kesatrian terbagi menjadi dua macam, yakni busana Kesatrian Alit (memakai kain batik non prada) dan busana Kesatrian Ageng (memakai kain batik prada). Untuk busana Kesatrian Ageng, awalnya merupakan pakaian khusus ketika menghadiri perjamuan tertentu. Upacara Malam Selikuran misalnya.

Yogya Putri

Mempelai pria dan wanita memakai batik prada bermotif sidomukti, sidoluhur, sidoasih, parangkusuma, atau semen rama. Selanjutnya, pria juga memakai selop bordir, lontong, kamus bordiran, timang kreteb, bara, kuluk kanigaran dan keris berhias bunga sritaman. Serta, perhiasan karset, bros, cincin dan rantai jam.

Adapun mempelai wanitanya memakai selop yang berhias mote. Memakai baju kebaya blenggen (kebaya panjang yang bersulam emas di tepinya). Kebaya ini biasanya berwarna merah, biru tua atau hijau tua, serta bros 3 buah sebagai aksesoris. Selebihnya, mempelai wanita juga memakai perhiasan kalung, gelang dan cincin.

Paes Ageng

Paes Ageng merupakan busana pernikahan Kerajaan Mataram yang kemudian menjadi koleksi pakaian adat Yogyakarta. Dalam hal ini, Kasunanan Surakarta memodifikasi busana pengantinnya sendiri, yakni Solo Basahan dan Solo Putri. Ada beberapa jenis Paes Ageng di Yogyakarta, Paes Ageng Jangan Meniran salah satunya.

Paes Ageng Jangan Meniran awalnya merupakan pakaian khusus acara boyong dari keraton ke kediaman pengantin pria. Dalam perkembangannya, busana ini juga menjadi busana pengantin dalam upacara panggih. Mempelai pria dan wanita memakai baju blenggen warna senada. Selopnya bludiran berwarna sama dengan bajunya.

Untuk mempelai pria, memakai kain cindhe kembaran, lontong, kamus bludiran, timang kreteb, kuluk kanigara dan keris branggah serta aksesoris bros 3 buah. Perhiasan bagi pria mencakup reroncen bunga sritaman, karset, kelat bahu motif naga, gelang kana, rantai, cincin, kalung susun tiga dan buntal (untaian daun dan bunga).

Untuk mempelai wanita, ia memakai kain cindhe sebagai kemben dan kain biasa yang senada. Baju blenggen-nya tanpa kutu baru, dengan penambahan udhet dan kain cindhe serta buntal dan slepe (cathok). Perhiasannya adalah sengkang royok, gelang kana, kalung bersusun tiga (sangsangan), kelat bahu motif naga dan cincin.

REFERENSI:
  1. https://budaya.jogjaprov.go.id...
  2. http://repositori.kemdikbud.go.id...
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url