Tari Klana Raja Yogyakarta - Sejarah dan Ciri Khas Gerak Tarian
Tari Klana Raja merupakan salah satu jenis Tarian Klasik Gaya Yogyakarta hasil karya dari R. Soenartomo Tjondroradono. Tari ini tercipta pada tahun 1976 yang mana pada tahun tersebut lahir pula tari Yogyakarta lain yakni Tari Klana Alus dan Tari Golek Kenyo Tinembe oleh KRT Sasmintodipuro.
Tari Klana Raja termasuk jenis tari tunggal putra. Kehadirannya terinspirasi dari adegan raja yang sedang jatuh cinta kepada seorang putri dalam lakon Wayang Wong. Tidak hanya itu, bahkan susunan gerak tarinya juga mengambil dari salah satu adegan yang terdapat pada kesenian Wayang Wong.
Tarian ini dinamakan dengan Klana Raja karena busana dan ragam yang digunakan adalah ragam raja yang menggunakan mahkota. Ada juga yang mengatakan bahwa penamaan tersebut berangkat dari gambaran figur raja yang merupakan manifestasi penguasaan Mayapada dan alam astral yang hadir.
“Klana” merujuk pada tokoh besar pengelana, konotasi dari manusia yang gemar berimajinasi terhadap hal-hal yang besar. Bercita-cita tinggi yang kadang berasosiasi pada romantisme suatu ”kegandrungan”. Tak mesti bersifat erotis melainkan pada idealisme yang estetis. Ada suatu kegagahan dalam pengejawantahan.
Bentuk Penyajian Tari Klana Raja
Sesuai dengan pemaknaan pada nama, Tari Klana Raja tersaji sebagai gambaran keagungan raja. Bergaya tari gagah “Kalang Kinantang Raja” dan bukanlah seperti pada kalang kinantang biasa. Perbedaan paling kentara dapat kita lihat pada gerakan “Ngunus” kaki kiri, yang mana tangan kiri sejajar gerak kaki.
Gerakan kemudian melanjutkan ke arah badan, lengkung ke kiri atas, kemudian ”Coklek” pergelangan tangan bersambung ke ”Pacak Gulu” yang menyelesaikan phrase gerak itu secara manis dan jantan. Adapun gerakan tangan kiri pada ” Ngoyong Kanan” maupun pada saat ”Tancep” memberikan ekspresi kesebaran.
Gambaran keagungan semakin terlihat pada Tarian Klana Raja Yogyakarta melalui musik pengiringnya. Iringan tari ini menggunakan irama gending ”Lung Gadung” dengan pelog bem. Iringan Gamelan Jawa terkesan mengundang kesan erotik terutama terdengar pada bagian tari “Nglana”.
Menghadirkan nuansa yang begitu sakral seperti di upacara temanten. Hal ini sangat berbeda dengan ”Bendrong” pada Klana Topeng yang terkesan menggelitik secara profan, atau bahkan pada golek ”Lambang Sari” yang menimbulkan rangsangan tingkat tinggi karena kehalusannya.
Terkait tata busana Tari Klana Raja, penari mengenakan teropong (mahkota) seperti mahkota Prabu Baladewa- Suteja. Mahkota tersebut dianggap sebagai hiasan paling agung di antara hiasan kepala raja jenis lainnya, seperti ”Songkok” Duryudana yang masih dimungkinkan untuk dipakai.
Sementara itu, ketu Narpati Basukarna, ”Keling” Wibisana kurang lazim penggunaannya. Berbeda dengan wayang pada umumnya, penari klana menambahkan sampur yang melingkar di leher. Penempatan sampur seperti itu lebih banyak berfungsi daripada dengan penggunaan sampur pinggang.
REFERENSI: