Wayang Wong - Sejarah, Penyajian, serta Lakon Wayang Orang
Wayang Wong atau Wayang Orang adalah salah satu jenis seni pertunjukan tradisional Jawa. Berbeda dengan Wayang Kulit atau jenis wayang lainnya, kesenian ini tidaklah memakai properti boneka wayang, namun dimainkan langsung oleh orang sebagai tokoh dalam pertunjukannya.
Dalam bentuknya, Wayang Wong merupakan penggabungan seni drama dan pertunjukan Wayang Kulit yang lebih dahulu tumbuh dan berkembang di Jawa. Para pemain kesenian ini mengenakan tata busana yang sama seperti hiasan-hiasan yang terdapat dalam kesenian Wayang Kulit.
Bentuk Penyajian dan Lakon
Pertunjukan biasanya dibuka dengan jejer yang sebelumnya didahului dengan dialog umum. Kemudian baru cerita dan dialog tersaji seiring dengan adegan perang kembang. Namun, sebelum adegan perang terlebih dahulu tampil adegan goro-goro yakni lawakan dari punakawan.
Dalam setiap pagelaran kesenian ini terdapat beberapa unsur yang menjadi perhatian penting. Salah satu unsur tersebut adalah ontowacono atau dialek tokoh. ontowacono bisa berarti setiap tokoh memiliki idiolek tersendiri yangsekaligus turut mencerminkan watak masing-masing.
Tidak hanya ontowacono, perhatian penting juga terlihat dalam hal busana. Wayang Wong memiliki standar yang ketat karena kostum memiliki makna yang simbolis. Oleh karena makna simbolisnya pula, maka persoalan bentuk tubuh dan perilaku tokoh pun menjadi amat penting.
Merujuk pada sejarah budaya Jawa, kisah Mahabarata dan Ramayana cukup mempengaruhi dan menjadi lakon bagi sebagian besar seni pertunjukan Jawa. Hal ini juga berlaku pada pagelaran Wayang Kulit Purwa yang berarti juga menjadi lakon dalam kesenian Wayang Wong.
Di antara kisah Mahabarata dan Ramayana, kisah Mahabarata adalah yang paling menonjol dan sering menjadi runutan dalam pertunjukan wayang. Khususnya kisah seputar konflik Pandawa dan Kurawa dalam sengketa negeri Astina yang berujung pada peperangan Bharatayudha.
Dalam kesenian Wayang Wong, lakon terbagi menjadi dua, yakni pakem dan carangan. pakem merujuk pada lakon yang berupa cerita Mahabarata dan Ramayana. Adapun carangan lebih berupa cerita karangan atau fantasi yang masih ada kaitannya dengan kisah-kisah dalam lakon pakem.
Pertunjukan kesenian Wayang Orang yang terselenggara di Taman Sriwedari Surakarta biasanya lebih mementaskan lakon pakem. Bahkan, pertunjukan kesenian ini di Taman Kesunanan tersebut sangatlah diusahakan untuk memenuhi pakem pertunjukan wayang secara ketat.
Sejarah Wayang Wong Jawa
Menurut Dinas Pariwisata Kotamadya Dati II Surakarta, Wayang Wong lahir pada Abad XVIII. Kesenian ini merupakan karya dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Penampilan pertamanya berlokasi di Surakarta, namun tidak bertahan lama dan berpindah ke Yogyakarta.
Kesenian ini kembali hidup dan berkembang di Surakarta di mulai pada bulan april 1868. Tepatnya ketika Mangkunegara IV mengadakan acara khitanan putranya yang bernama Prangwadana dan Mangkunegara V. Dalam acara tersebut didatangkanlah petikan Wayang Wong dari Yogyakarta.
Selanjutnya Mangkunegara IV dan V menyempurnakannya, terlebih dalam hal tata busana dan perlengkapan. Kesenian ini semakin berkembang terutama sejak pembangunan Taman Sriwedari oleh Pakubuwana X pada tahun 1899. Wayang Wong selalu mengisi acara di Taman Kasunanan tersebut.
Pada awalnya, kesenian Wayang Wong merupakan jenis pertunjukan tradisional yang sangat eksklusif dan hanya tersaji di lingkungan Kraton. Baru sejak sekitar tahun 1902 pertunjukan Wayang Orang muncul dengan dasar komersil yang terselenggara di luar lingkungan keraton.
Wayang Orang komersil berkembang dan mencapai puncaknya ketika muncul perkumpulan “Ngesti Pandowo” pimpinan Sastrosabdo. Perkembangan tersebut juga mempengaruhi Wayang Orang di Taman Sriwedari. Mengikuti pola komersil dan memungkinkan masyarakat menonton dengan membeli karcis.
Di Jakarta, pada tahun 1960 - 1990, pernah pula berdiri beberapa perkumpulan Wayang Orang. Di antaranya adalah perkumpulan Sri Sabda Utama, Ngesti Budaya, Ngesti Pandawa, Cahya Kawedar, Adi Luhung, Ngesti Widada, Panca Murti. Dan, yang paling lama bertahan adalah Bharata.
Dalam perkembangannya, pentas seni Wayang Orang juga melahirkan seniman-seniman tari yang menonjol. Sebagian di antaranya adalah Sastradirun, Rusman, Darsi, dan Surana yang berasal dari Surakarta; Sastrasabda dan Nartasabda dari Semarang; Samsu dan Kies Slamet dari Jakarta.
REFERENSI: