Angklung Sunda - Pengertian, Jenis & Sejarah Perkembangannya
Angklung Sunda. Sebagai negeri yang kaya akan budaya, mengisyaratkan bahwa Indonesia merupakan negara yang penghuninya adalah manusia yang kaya akan rasa keindahan. Di antara lebih dari 300 etnik yang ada, tersebutlah Suku Sunda yang kreatif sehingga menjadi salah satu yang menonjol dalam hal kebudayaan.
Dari merekalah beragam rupa seni terlahir, termasuk Angklung yang sejak 2010 telah dinyatakan UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Secara umum, alat musik tradisional ini terkenal sebagai alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dalam budaya Sunda di Jawa Barat.
Pengertian Alat Musik Angklung
Alat musik tradisional ini terbuat dari tabung-tabung bambu yang mana suara atau nadanya merupakan dari efek benturan tabung-tabung tersebut. Cara memainkannya adalah dengan digoyangkan. Nada yang keluar berupa bunyi yang bergetar dalam susunan 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Selain sebagai alat musik, Angklung juga mewakili sebuah seni pertunjukan tradisional masyarakat Sunda. Seni pertunjukan yang menggunakan alat musik Angklung Sunda untuk menyajikan tembang-tembang tradisional. Selain itu, terdapat juga beberapa instrumen musik lain, termasuk metalofon, gambang, gendang dan gong.
Perihal namanya, istilah Angklung ada yang mengatakan berasal dari angkleung-angkleung. Ini adalah suatu istilah di dalam bahasa Sunda untuk mendefiniskan suara "klung" yang berasal dari alat musik Angklung. Para pemain Angklung memainkannya sambil bergerak-gerak dan gerakan mereka itu seolah seperti mengalun.
Sementara itu, secara etimologis Angklung berasal dari gabungan kata "angka" yang berarti nada dan "lung" yang berarti pecah. Jadi, alat musik ini merujuk pada nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap. Sejalan dengan tradisi umum kebudayaan Sunda, laras (nada) dalam alat tembang Angklung adalah Slendro dan Pelog.
Perihal Sejarah Angklung Sunda
Mengenai asal-usulnya, tidak ada petunjuk yang jelas sejak kapan masyarakat di Nusantara mulai menggunakannya. Adapun ketika melihat bentuk primitifnya, terdapat dugaan bahwa alat musik ini sudah ada di dalam kultur Neolitikum. Selanjutnya, Angklung berkembang di Nusantara hingga awal penanggalan modern.
Hal ini berarti juga bahwa Angklung merupakan bagian relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Dalam sejarah, sumber berupa catatan baru terlihat ketika merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 hingga abad ke-16). Dalam catatan tersebut bahwa instrumen musik bambu hadir dalam lingkup budaya agraris.
Ketika merujuk pada pendapat I Ketut Yasa, masyarakat agraris dalam upaya mencapai keberhasilannya menggunakan dua jalur, yakni jalur yang bersifat rasional dan jalur yang sifatnya irrasional. (Musik Tradisional : Dari Setting Budaya Agraris ke Budaya Industri, IDEA Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan Edisi II, 2001).
Jalur rasional bisa kita lihat dari bagaimana cara masyarakat agraris di Tatar Pasundan dalam mengolah lahan, membuat alat-alat bantu dan lain sebagainya. Sedangkan untuk jalur yang bersifat irasional, terdapat kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Orang-orang Baduy, yang merupakan sisa-sisa masyarakat Suku Sunda asli, menerapkan alat musik bambu sebagai bagian dari ritual upacara untuk mengawali penanaman padi. Selanjutnya, permainan alat musik bambu dengan membawakan lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri juga melibatkan pengiring tabuh.
Pengiring tersebut terbuat dari batang-batang bambu berbentuk sederhana. Lalu, lahirlah struktur musik bambu yang di kemudian hari bernama Angklung. Dalam ritual terkait padi, pertunjukannya berupa arak-arakan. Bahkan, di beberapa tempat menjadi iring-iringan Rengkong, Dongdang, serta Jampana (usungan pangan).
Perkembangan Angklung Sunda
Di Jasinga (Bogor), terdapat permainan Angklung Gubrag yang tetap hidup lestari hingga saat ini. Kemunculan permainan tersebut bermula dari ritus padi yang telah ada sejak lebih dari 400 tahun yang lalu. Tujuan permainan ini adalah mengundang Dewi Sri agar turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada tanaman.
Jenis Angklung Sunda yang tertua bernama Angklung Buhun yang hingga saat ini masih menyertai berbagai perayaan, termasuk Seren Taun. Di zaman Kerajaan Sunda (Pasundan), alat musik itu berfungsi untuk penggugah semangat dalam pertempuran. Bahkan fungsi ini masih terasa hingga pada masa penjajahan Belanda.
Pada masa itu, pihak kolonial Belanda sempat melarang masyarakat Sunda menggunakan alat musik tersebut, sehingga membuat popularitasnya menurun dan hanya menjadi permainan anak-anak saja. Namun, selanjutnya kesenian ini tetap hidup, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Pada tahun 1908, ada sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, salah satu penandanya adalah penyerahan Angklung. Sejak itu, permainan musik ini menyebar di negara tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat dua tokoh yang berperan dalam pelestariannya, yakni Daeng Soetisna dan Udjo Ngalagena.
Daeng Soetisna terkenal sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis, sementara Udjo Ngalagena mengembangkan teknik laras pelog dan salendro. Pada kisaran tahun 1938, Daeng Soetisna berinovasi dengan menggunakan tangga nada diatonis, sehingga hasilnya berbeda dengan nada tradisional berlaras pelog dan salendro.
Inovasi Daeng membuat permainan Angklung semakin leluasa dan harmonis bersama dengan alat-alat musik barat. Sejak saat itu, popularitas alat musik ini pun semakin naik. Sebagai murid Daeng Soetisna, Udjo Ngalagena terus melestarikan temuan gurunya itu dengan jalan mendirikan Saung Angklung Udjo di Bandung.
Jenis-Jenis Kesenian Angklung
Angklung tersebar hingga keluar dari kebudayaan Sunda. Selain itu, kreativitas masyarakat daerah di dalam lingkup budaya Sunda juga turut menciptakan keragaman. Umumnya perbedaan berkisar pada variasi rangka, hiasan serta jumlah tabung (nada). Berikut ini jenis Angklung berdasarkan bentuk dan wilayah penyebarannya :
Angklung Kanekes
Berkembang di wilayah Kanekes (orang Baduy). Fungsi Angklung Kanekes bukan semata-mata untuk hiburan, namun lebih berfungsi sebagai sarana atau bagian dari ritus padi. Biasanya tampil ketika masyarakat menanam padi di huma (ladang). Pertunjukannya pun terikat dengan beberapa aturan adat.
Secara umum, ada pertunjukan secara bebas (dikurulungkeun), yakni di Kajeroan (Baduy Jero). Ada juga yang tersaji dengan ritmis tertentu, yakni di Kaluaran (Baduy Luar). Apabila pertunjukannya tampil di luar upacara penanaman padi, jenis ini hanya boleh berbunyi hingga masa ngubaran pare (mengobati padi).
Angklung Reyog
Angklung jenis ini berkembang dan berfungsi sebagai pengiring tarian Reog Ponorogo, salah satu kesenian tradisional Jawa Timur. Ciri khasnya yang menonjol adalah bersuara keras dengan dua nada. Bentuknya berupa lengkungan rotan yang menarik dengan hiasa benang berumbai-rumbai warna yang indah.
Jenis ini juga mampu menghasilkan suara yang khas, yakni suara klong-klok dan klung-kluk. Selain sebagai alat musik, instrumen Angklung Reyog dulunya juga merupakan sebuah senjata yang berasal dari kerajaan Bantarangin. Senjata tersebut digunakan ketika berperang melawan kerajaan Lodaya pada abad ke-9.
Angklung Banyuwangi
Salah satu kesenian khas Banyuwangi di Jawa Timur dan terbagi ke dalam beberapa jenis pertunjukan. Ada pertunjukan Angklung Caruk yang mempertemukan dua kelompok untuk bersaing dalam memainkan alat musik ini. Ada juga Angklung Tetak yang biasanya berfungsi untuk ronda atau membantu jaga malam.
Selain itu, terdapat juga Angklung Paglak yang merupakan permaianan alat musik para petani ketika menjaga sawah mereka. Selebihnya, di Banyuwangi ada Angklung Blambangan yang merupakan hasil improvisasi dari Angklung Caruk dengan tambahan instrumen musik lainnya, seperti gong dan alat musik Gandrung.
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian ini terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun. Meskipun kesenian ini bernama Dogdog Lojor yang mengacu pada salah satu waditra di dalamnya, akan tetapi juga melibatkan Angklung karena ada kaitannya dengan ritual padi.
Oleh karena itu, kesenian Angklung Dogdog Lojor biasanya juga menjadi bagian dari tradisi Seren Taun. Meskipun demikian dalam perkembangannya, setidaknya sejak tahun 1970-an kesenian ini mulai berfungsi murni hiburan. Pertunjukannya sering kali tampil untuk memeriahkan acara khitanan dan acara-acara lainnya.
Angklung Gubrag
Salah satu jenis tertua yang ada di Cipining, Cigudeg, Bogor. Berfungsi untuk menghormati Dewi Padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya, alat musik ini mulai ada pada saat terjadi paceklik di kampung Cipining.
Angklung Badeng
Sebuah kesenian yang berkembang di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dahulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah agama Islam. Tetapi, terdapat dugaan kesenian ini telah ada sebelum masa masuknya Islam. Dulu ada di dalam acara-acara yang berhubungan dengan penanaman padi.
Sebagai seni tradisi yang berfungsi untuk dakwah, Angklung Badeng berkembang sejak Islam masuk ke daerah Sanding pada kurang lebih abad ke-16 atau ke-17. Dalam pertunjukannya, kesenian Angklung Badeg melibatkan sembilan buah Angklung dengan dua buah dogdog, dua buah terbang, serta satu kecrek.
Angklung Buncis
Sama halnya dengan jenis kesenian alat musik bambu yang lainnya, Angklung Buncis awalnya juga merupakan bagian dalam ritual yang berhubungan dengan padi. Kesenian dari Baros (Arjasari, Bandung) ini tetap ada dan lestari hingga saat ini. Akan tetapi, sekarang hanya berfungsi sebagai hiburan semata.
Terutama sejak tahun 1940-an yang dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi. Alat musiknya berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Istilah buncis sendiri berkaitan dengan teks lagu yang terkenal di kalangan masyarakat pemilik kesenian ini.
Angklung Padaeng
Mewakili Angklung Nasional karya Daeng Sutigna pada tahun 1938. Hadir sebagai perkembangan dari alat musik laras Salendro dan Pelog. Laras nadanya diatonik sesuai sistem musik barat. Karena itu, angklung ini dapat memainkan lagu-lagu internasional atau bermain dalam ensambel bersama alat musik internasional lainnya.
Selain yang tersebut di atas, masih banyak jenis lain, seperti Angklung Bungko, Angklung Ciusul, Angklung Badud dan lain sebagainya. Yang terbaru, adalah Angklung Toel karya dari Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. Serta, Angklung Sri-Murni, gagasan dari Eko Mursito Budi yang secara khusus tercipta untuk keperluan robot angklung.
Referensi
- https://media.neliti.com/m...
- https://belajar.kemdikbud.g...
- https://id.wikipedia.org/wiki...
- https://simlitmas.isbi.ac.id/e...