Tari Gandrung Banyuwangi - Sejarah Gandrung Lanang dan Semi

Tari Gandrung adalah seni tari tradisional yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tari ini sejak bulan Desember 2000 telah menjadi ikon dan maskot Pariwisata Kota Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pula Banyuwangi kemudian dijuluki sebagai Kota Gandrung.

Istilah Gandrung sendiri bisa bermakna terpikat. Memakai nama Gandrung karena tarian ini merupakan bentuk terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri. Masyarakat tradisional menyakini Dewi Padi dapat membawa kesejahteraan bagi mereka.

Masyarakat Banyuwangi menggelar Tari Gandrung Banyuwangi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur di setiap habis panen. Penari Gandrung (wanita) menarikannya bersama atau berpasangan dengan Pemaju yakni para tamu laki-laki. Pemaju terkenal juga dengan istilah “Paju”.

Dalam perkembangannya, Gandrung sering tampil pada berbagai acara. Di acara perkawinan, pethik laut, khitanan dan pada acara Hari Kemerdekaan RI. Tidak jarang juga tersaji pada acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya, baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Sejarah Tari Gandrung Banyuwangi

Dalam sejarahnya, kesenian ini telah ada sejak pembangunan ibukota Blambangan sebagai pengganti Pangpang (Ulu Pangpang). Penanda pembangunan itu adalah pembukaan Hutan Tirtagondo (Tirtaarum) oleh Mas Alit, bupati yang mulai menjabat pada 2 Februari 1774 di Ulu Pangpang.

Mengenai asalnya, seperti tertulis dalam makalah Joh Scholte. "asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain kendang dan terbang. Sebagai penghargaan mereka mendapat hadiah beras yang mereka membawanya di dalam kantong." (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).

Tulisan Joh Scholte dalam makalahnya tersebut juga senada dengan cerita tutur turun temurun. Di masa awal kelahirannya, penari tarian Gandrung adalah kaum laki-laki. Secara berkelompok, mereka membawa peralatan musik perkusi yang berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).

Mereka berkeliling setiap hari mempertunjukkan Tarian Gandrung pada sisa-sisa rakyat Blambangan di sebelah timur. Kabarnya, jumlah rakyat tinggal saat itu sekitar lima ribu jiwa. Ini merupakan akibat dari oleh penyerbuan kompeni tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi.

Dalam hal ini, Kompeni mendapat bantuan dari pihak Mataram dan Madura. Peperangan terus terjadi hingga berakhirnya Perang Bayu atau Puputan Bayu yang sadis, keji dan brutal pada tanggal 11 Oktober 1772. Kompeni, yakni pihak penjajah Belanda memenangkan peperangan tersebut.

Para penari Gandrung menerima imbalan beras atau hasil bumi. Dari imbalan itulah kemudian mereka bisa menyumbang kepada rakyat yang keadaannya memprihatinkan. Yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaan akibat perang.

Kemunculan tarian ini ternyata bermanfaat juga untuk mengajak kepada sisa-sisa rakyat yang sudah tercerai berai. Mereka mengajak rakyat agar mau kembali ke kampung halaman untuk memulai membentuk kehidupan baru, hingga pembukaan Hutan Tirtaarum terselesaikan.

Terdapat juga sejumlah sumber yang mengatakan bahwa kelahiran Gandrung bertujuan untuk menghibur para pembabat hutan. Atau, berfungsi sebagai pengiring upacara ritual memohon keselamatan. Upacara selamatan tersebut berkaitan erat dengan proses pembabatan hutan yang angker.

Banyuwangi menjadi nama ibukota yang baru tersebut. Penamaan ini menyesuaikan dengan konotasi dari nama hutan yang di babad, yakni hutan Tirta Arum. Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan lahirnya kesenian ini, salah satunya adalah menyelamatkan sisa-sisa rakyat Blambangan.

Dalam Puputan Bayu, rakyat Blambangan (kini; Suku Osing) benar-benar telah terbantai habis-habisan oleh Kompeni Belanda. Dalam hal ini, rakyat Blambangan ingin membangun kembali Bumi Blambangan, khususnya yang di sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni.

Gandrung Lanang dan Gandrung Semi

Catatan sejarah mengatakan bahwa penari Tari Gandrung pertama kali adalah kaum lelaki. Mereka membawakan tarian ini dengan berdandan layaknya perempuan. Ketika merujuk pada keterangan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi Tarian Gandrung Lanang ini adalah alat musik kendang.

Selanjutnya, gandrung laki-laki lambat laun lenyap dari Banyuwangi pada kurang lebih tahun 1890-an. Terdapat dugaan bahwa penyebab hilangnya gandrung laki-laki adalah karena ajaran agama Islam melarang segala bentuk transvestisme atau kaum laki-laki yang berdandan seperti perempuan.

Meski demikian, Tari Gandrung Lanang oleh kaum laki-laki baru benar-benar lenyap sekitar tahun 1914. Tepatnya, setelah kematian penarinya yang terakhir yang bernama Marsan. Sementara itu, Tari Gandrung wanita dalam sejarahnya terkenal dengan sebutan tarian Gandrung Semi.

Nama Gandrung Semi berkaitan dengan seorang anak kecil bernama Semi yang berusia sepuluh tahun. Pada tahun 1895 ia menderita penyakit yang parah. Demi kesembuhan dari penyakit itu, ia melakukan segala daya dan upaya penyembuhan namun tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut.

Sang ibu yang bernama Mak Midhah kemudian bernadzar dengan berkata “kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Terkait hal ini, Anda juga bisa membaca artikel; Tari Seblang Banyuwangi.

Setelah ibunya bernadzar, ternyata Semi sembuh dan sesuai nadzar ibunya ia menjadi Seblang sekaligus memulai babak baru Tari Gandrung oleh wanita. Tradisi Gandrung oleh Semi selanjutnya berlanjut ke adik-adik perempuannya. Lestari secara turun temurun hingga berkembang pesat di Banyuwangi.

Pada awal perkembangannya, penari Gandrung hanya terbatas pada para keturunan penari Gandrung yang sebelumnya. Tradisi ini berlangsung hingga tahun 1970-an seiring dengan banyaknya gadis muda yang bukan keturunan turut mempelajari dan menjadikan sumber mata pencaharian.

Seiring berjalannya waktu, kesenian Gandrung di Banyuwangi berkembang dan tetap kuat meski arus globalisasi senantiasa mempengaruhi. Untuk mempertahankan eksistensinya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mewajibkan setiap siswa SD hingga SMA untuk mengikuti ekskul kesenian Banyuwangi.

Sebagai contoh adalah pembelajaran Tari Jejer yang merupakan sempalan dari Gandrung Banyuwangi. Keberadaan kesenian Gandrung di Banyuwangi semakin kuat, salah satunya karena antusiasme seniman-budayawan di Dewan Kesenian Blambangan yang sejak tahun 2000 mulai meningkat.

Mereka beranggapan bahwa Gandrung merupakan kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung seolah telah menjadi bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Osing di Banyuwangi.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url